Jumat, 27 Januari 2023

Bahasa Kehilangan

Dari zaman cinta-cintaan ga jelas dulu, saya sadar sih yang saya punya selalu beda dengan punya orang lain. Dulu mengiranya karena personalitynya aja. Belum kenal love language gitu deh. Kenalnya ya sanguinis, melankolis, plegmatis, koleris gitu gitu hahahah. Semakin ke sini ternyata berkembang. Bukan cuma mencintai yang bahasanya berbeda-beda. Kehilangan juga begitu..

Beberapa tahun terakhir jadi lebih banyak melihat kehilangan. Banyak orang di sekitar saya kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi mereka. Akhirnya saya lihat bagaimana bahasanya. Sangat beda-beda. Ini bukan soal detik-detik awal mereka mengalami kehilangannya saja. Iya, ada yang menangis, ada yang diam saja, ada justru tertawa melihat nasib, ada juga yang lega karena almarhum tidak sakit lagi. Tapi secara jangka panjang, apa yang dilakukan juga beda. Tapi semuanya sama, yaitu bahasa kehilangan.

A year later after his wife passed away, he still wears the wedding ring everywhere. At work, at social gathering, at vacation. In that year, he spent a lot of time with people around him. Planning a lot of activities for work, for his community, for holiday with friends. Even decided to go back to school.

Bagi saya, ini bahasa kehilangan yang nyata.

Months after she lost her mom, she spent moreeeee time with her friends. She also does all the shopping and the cooking for their household. Saying stuff like if I buy this onion in traditional market, it would be way cheaper, my mom would be proud.

Bagi saya, ini bahasa kehilangan yang nyata.

Years later after he lost his mom, he has made a lot of decisions by himself. He know he lost his safety net. So everything requires a lot of consideration. He realized his decisions will affect somebody else now, his family.

Bagi saya, ini bahasa kehilangan yang nyata.

Satu orang yang pergi, tidak kemudian menimbulkan bahasa kehilangan yang sama bagi tiap orang di dekatnya. Beberapa marah dengan keadaan, beberapa menerima dan memilih untuk merindukan, beberapa menolak mati-matian dan menutupnya dengan kepura-puraan. Apakah itu salah? Tidak. Semua bahasa kehilangan itu wajar. Tapi mana yang terbaik? Saya tidak berhak memutuskan. Barangkali kita hanya perlu terbuka satu sama lain tentang rasa kehilangan yang sama. Jadi kita bisa meracau bersama, daripada merasakan kehilangan dalam sepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar