kecewa, hal biasa yang terjadi ketika harapan (bahasa syusyahnya, ekspektasi) kita tidak terpenuhi. jadi awalnya, biasanya kita mencanangkan semacam standar terhadap sesuatu.
ketika melangkahkan kaki, memantapkan mau memilih jalur apa, akan muncul semacam harapan-harapan semu. kalau gue milih ini, nanti (mungkin) bakal dapet ini. we always do. kita, secara sukarela, memilihkan standar dan melekatkannya pada setiap hal di sekeliling kita. begitupun ketika memilih untuk bergabung dengan sebuah tim, yang nantinya akan melakukan pekerjaan bareng.
banyak orang bilang tentang jangan memperbesar ekspektasi, tapi perbesar usaha yang bisa dilakukan. gak salah kok ketika kita punya standar tinggi atas pekerjaan atau amanah. i think everyone should have it, sebagai tujuan untuk diusahakan, bukan hanya untuk diletakkan dan dipandangi (?). tapi mau menangin ego yang tidak terpuaskan atau melanjutkan apa yang udah terlanjur ditaruh di tangan itu pilihan kita lho. mau ikutan menyebarkan kekecewaan kepada yang lain atau mau membalas kekecewaan itu, adalah pertanyaan mendasar yang harus ditanyakan ke diri sendiri ketika ketampar kekecewaan. simpelnya, mau cabut karena kecewa dan membiarkan pekerjaan kita atau mau lanjut jalan, supaya ga memperbanyak orang yang kecewa?
jadi, mau mengisi kekecewaan hati itu dengan apa, sebenarnya bukan tanggungjawab siapa-siapa selain diri sendiri. buat gue, apa yang ada di hati tuh bukan urusan siapa-siapa yang ada di luar, lo seneng atau sedih bukan karena orang lain yang seenaknya, tapi karena lo mengijinkan apa yang mereka lakuin berefek lebih besar daripada pikiran lo sendiri.
Kadang w kecewa karena seseorang tersebut menghapus ekspektasi gue ke dia No, tapi gue baru tau kenapa dia gak megang ekspektasi gue. Di situ gue belajar tentang bagaimana kecewa itu menghilang
BalasHapus