Aku punya kuning langsat nenekku. Aku punya kecerdikan eyang putriku. Aku punya temperamen ayahku. Aku punya keras kepala ibuku. Aku punya kebiasaan aneh eyang laki-lakiku. Aku punya wajah galak kakekku. Aku belajar mengumpulkan serpihan sabar kakakku.
Minuman favoritku pernah jadi favorit orang lain. Celana favoritku pernah jadi celana pilihan orang lain. Jam tangan kesukaanku pernah jadi kesukaan orang lain. Buku-buku yang kubaca, pernah jadi kawan berpikir orang lain.
Serpihan-serpihan milik orang lain, entah terbawa dengan sengaja atau tidak, kini jadi milikku. Jadi bekalku. Sehari-hari kubawa melangkah, menyusuri jalan-jalan aneh di tengah kota.
Bukankah rasanya mudah, jika menyadari apa yang milik kita sebenarnya hanya kumpulan serpihan? Tak pernah benar-benar utuh. Maka genggaman tangan ini harusnya tak perlu sekuat itu. Jika waktunya terlepas, maka terhempas pula ia.
Bukankah lebih bermakna, jika menyadari bahwa persimpangan jalan tak pernah benar-benar jadi akhir dari sesuatu? Bahwa ada kebiasaan, kenangan, pesan, yang selalu dibawa satu sama lain hingga ..... entah kapan. Bahwa tidak semua yang kita jalani jadi sepenuhnya sia-sia, saat sebuah masa harus selesai.
Kita hanya menyusun puzzle dengan pecahan-pecahan yang ada. Beberapa mungkin tidak pas satu sama lain. Harus ada bagian yang dipotong atau dihaluskan. Tapi, bagian hidup ini hanya bagian dari yang lain.
Terima kasih, untuk kamu, untuk waktu, untuk ruang.
Terima kasih, untuk kamu, untuk waktu, untuk ruang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar