Sabtu, 15 Desember 2012

Mereka Yang (Turut) Membuang Tinja


Lamunan selama empat setengah tahun hidup di kampus akhirnya membulirkan tulisan ini, maka sebut saja ini igauan yang tercatat. Menjelang akhir segalanya saat toga terpasang dan silinder diploma direngkuh, saya sering kali bertanya, masih dapatkah saya menyebut  kampus ini sebagai rumah tempat saya dapat kembali kapan saja?. Rumah yang sungguh-sungguh harafiah, tempat lepas penat setelah lelah, tempat bagi cerita dan cita-cita, juga untuk membasuh muka dan membuang tinja.

Makin lama, saya hanya merasa kampus ini hanya jadi terminal, tempat singgah dan lalu, menuju terminal selanjutnya bagi sebagian besar penghuninya. Sungguhpun demikian adanya. Memperhatikan orang-orang singgah di terminal, tak banyak yang mereka tinggalkan, mungkin hanya dinding, daun   pintu dan jendela yang jadi saksi bahwa mereka pernah singgah disana. Bahkan sekedar sedikit aksi vandal guratan narsistis pun tak sempat mereka lakukan. Semuanya terlalu cepat, mereka mungkin khawatir tertinggal sesuatu yang saya tak pahami sendiri apa yang mereka kejar.

Bagi mereka yang telah lalu, mungkin tak sadar bahwa di kampus yang mereka terminalkan banyak avonturir muda yang memperhatikan dengan seksama dan mewanti waktu bicara dengan mereka, untuk sekedar mencari tahu perjalanan apa saja yang sudah dilakukan oleh mereka, sehingga para avonturir muda itu mungkin tahu apa yang bisa mereka lanjutkan dan apa yang masih perlu diprakarsa untuk membenahi bangunan kampus mereka. Namun, mungkin kereta yang mereka naiki terlampau pacu, tak banyak yang bisa dibagi, dan tiket yang mereka beli hanya sekali jalan, dan bukan tiket pulang pergi.

Terlalu banyak analogi? Sudahlah, ini kan igauan, terlalu realistis bisa membunuh pelan-pelan pemimpi macam saya. Saya hanya bisa bernostalgia, dan coba buat sketsa kondisi kampus saya dekade-dekade yang lalu, sketsa yang terlampau kasar, karena mereka yang kolase lengkapnya pun sudah berlalu dengan kereta masing-masing, begitu pacu, begitu sebar. Sudah sulit saya temukan gambar utuh kondisi kampus saya masa lalu, kenapa begitu sulit? Mungkin karena kami yang di masa kini, sulit sekali bertemu mereka yang ada di masa lalu, meski semuanya besar di ruang spasial yang sama di kampus jingga ini.

Itu kondisi kini, bagaimana kondisi masa depan kampus ini?. Ada yang sudah punya gambaran atau setidaknya angan-angan?. Semuanya mungkin hanya berkutat  tentang apa yang akan dia lakukan selama dia masih ada di kampus, selama masih sandang gelar mahasiswa. Namun, setelah semuanya selesai, apakah penerusnya harus mulai lagi dari awal?, sama seperti kondisi saat ini ?, kondisi saat kampus hanya milik segelintir orang yang melalui proses seleksi dan eleksi, padahal setiap orang dapat berpartisipasi?
Kampus jingga ini besar oleh manusianya dan tentu saja lisan dan tulisan yang dibuat oleh manusia-manusianya. Lisan dan tulisan yang magnitudonya melampaui batas spasial tempat mereka melafalkan lisannya atau menulis tulisannya. Saya tidak tahu sekarang ini, mungkin sebagian besar mereka berpikiran mereka merasa besar karena kampus ini, dan bukan berpikiran kampus ini yang harus mereka besarkan. Saya semakin mengigau, di waktu yang sama semakin cemas mengigau, karena khawatir igauan ini ternyata bukan igauan di kampus ini.

Saya habis kata, mungkin butuh baring sejenak, membuang igauan-igauan lain yang sebenarnya lebih menyedihkan, tentang ruang yang saya sebut rumah, tentang kampus saya. Tapi ternyata tidur pun tak nyenyak, saat semakin bayangkan mereka yang singgah terus lalu, jadikan rumah saya ini terminal, membuatnya sekedar penuh sesak seruak, membayar uang sebenggol, dan kemudia turut membasuh muka dan membuang tinja. Sekedar tinja, bukan cerita dan cita-cita.

(Dikutip dari tulisan dalam Bukan Jurnalis Bukan Pers Kampus, 11 Desember 2012, oleh Mochamad Alvin Dwi Qobulsyah)
@Qobulsyah

via bigmojou.tumblr.com/post/37970291639/mereka-yang-turut-membuang-tinja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar